Tradisi Perang Siat Sampian

Salam Takzim

Sahabat dan pembaca batavusqu yang berbudaya

Masih dalam proses beres-beres dirumah batavusqu. geser sana geser sini pindah sana pindah sini ngecat sana ngecat sini, akhirnya jadilah blog batavusqu mempergunakan tema Forever. Sembari memoles sedikit demi sedikit perkenankan batavusqu kembali meracik sebuah sajian yang utama untuk para sahabat dan pembaca dimana saja berada. Pada postingan sebelumnya tradisi perang pandan telah menerobos pengunjung di atas 300_an, semoga postingan ini juga dikunjungi banyak sahabat.

Tradisi Perang Sian Saipan

Tradisi perang Siat Sampian

Di pulau Bali memang terdapat banyak tradisi sakral, sehingga wajar saja kalau turis mancanegara tak pernah jemu singgah di Bali, bahkan turis turis lokal banyak pula yang hadir bila suatu tradisi digelar. Saking sakralnya maka orang-orang tidak lagi menamakannya plalian tetapi ilen-ilen atau pertunjukan. Ambil contoh misalnya “perang pandan” di Tenganan Pegeringsingan, “Ngrebeg” di Munggu, “Med-medan” di Sesetan, dan masih banyak lagi. Pertunjukan itu selalu dirangkaikan dengan upacara adat-agama setempat.

Tradisi perang kaum PriaTradisi perang kelompok laki-laki

Tradisi perang Siat Sampian adalah tradisi yang menjadi pertunjukan perang-perangan dalam suasana bermain. Senjata yang digunakan untuk menyerang adalah rangkaian janur yang disebut sampian. Pertunjukan yang diselenggarakan dalam rangkaian upacara odalan di Pura Samuantiga, Bedulu (Gianyar) itu dilakukan oleh perempuan atau laki-laki yang sudah kaelingan, artinya ditunjuk oleh Ida Batara melalui upacara pawintenan. Para pemain melakukan siat, saling serang dan saling pukul tanpa membedakan lawan dan kawan. Pertunjukan itu diselenggarakan satu kali setiap tahun, tiga hari setelah upacara puncak (sekitar purnama Jiyestha).

Tradisi perang kelompok perempuan

Tradisi perang kelompok perempuan

Pertunjukan dalam suasana bermain itu dilakukan dua tahap oleh kelompok yang berbeda, yakni kelompok perempuan yang disebut Jro Permas dan kelompok laki yang disebut Parekan. Jumlah anggota Jro Permas lebih kurang 35 orang, sedangkan kelompok Parekan terdiri dari beratus-ratus orang. Pertunjukan tahap pertama yang dilakukan Jero Permas lebih lama daripada tahap berikutnya yang dilakukan oleh Parekan. Rangkaian kegiatan kelompok perempuan dimulai saat matahari terbit sampai hampir tengah hari.

Awal Perang mengelilingi puraNampiog mengelilingi pura

Diawali dengan nampiog, yaitu menari mengelilingi pura 11 kali searah jarum jam (purwa daksina). Kegiatan selanjutnya hanya dilakukan di jaba tengah (halaman tengah) dengan ngombak atau menirukan gerakan ombak. Para pemain satu sama lainnya berbaris berpegangan tangan, maju-mundur di depan pelingih. Bentuknya seperti jala jika diperbandingkan dengan permainan “Juru Pencar”. Gerakan yang dilakukan berulang-ulang itu kemudian disusul dengan ngindang, terbang seperti burung lalu mengambil sampian dari pelinggih tertentu. Tiap pemain mengambil sebuah sampian (kadang-kadang diperbolehkan dua), lalu langsung mengadakan siat atau perang-perangan.

Dalam perang-perangan, setiap pemain memandang teman mainnya itu sebagai musuh. Mereka saling kejar, saling pukul dan hindar-menghindar. Peperangan makin lama tambah panas dan tambah hebat, apalagi diiringi tabuh gong dan angklung yang sangat dinamik. Para penonton pun bersorak gemuruh mengikuti suasana permainan. Apabila masing-masing Jro Permas sudah berhasil memukul teman mainnya sampai tiga kali, maka permainan dapat diakhiri. Semua sampian yang digunakan senjata tadi dikembalikan ke tempat semula.

Para penonton mengira perang sudah usai. Tidak! Pertempuran berikutnya lebih hebat lagi. Yang turun arena adalah laki-laki, jumlahnya bukan bilangan puluhan tetapi ratusan Parekan. Mula-mula mereka melakukan ngombak seperti yang dilakukan oleh Jro Permas. Kemudian dilanjutkan dengan lari berkeliling pura tiga kali searah jarum jam, lalu muspa (sembahyang doa). Walaupun para pemain sudah kerasukan semangat tempur, namun “Siat Sampian” belum boleh dimulai. Para Parekan harus berkeliling pura tiga kali lagi sambil memegang sampian. Setelah itu, wah…, mereka tidak lagi dapat dihambat. Halaman jaba tengah sekarang dipenuhi suasana peperangan. Seperti perang Kuruksetra — mana lawan mana kawan, mana saudara mana paman. Lihat, mereka seperti mengayun-ayunkan gada dan tombak. Tidak perduli, apakah sampian itu mengenai kepala, punggung, dada atau pinggul.

Yang menonjol dari suasana tradisi perang Siat Sampian adalah kegembiraan para pemain maupun penonton. Semuanya merasakan nikmat dan puas, apalagi pertunjukan itu dihidupkan oleh para pemain yang pasrah dan bersemangat tinggi, ditambah lagi dengan iringan tabuh yang menggebu-gebu. Para pemain benar-benar merasakan kepuasan batin, karena telah menghaturkan “sesuatu” kepada Ida Batara tanpa pamrih. Itulah salah satu ciri yang menonjol dari permainan atau pertunjukan sakral.

Demikian tradisi ini ditoreh dengan bantuan oom google lewat gambarnya dan saduran dari http://www.bali.co.id, semoga sahabat dan pembaca dapat berkenan.

Seperti yang dahulu disaji bukan untuk dipuji apalagi dicaci, namun semata hanya untuk diketahui dan melengkapi.

Salam takzim Batavusqu

13 pemikiran pada “Tradisi Perang Siat Sampian

Tinggalkan Balasan ke Noer Mancunk Batalkan balasan